carousel

SELAMAT DATANG DI PONPES PUTRI SALAFIYAH AL - KHODIJAH

06/03/10

TANTANGAN BESAR NU PASCA GUS DUR WAFAT


Oleh : Fauzi AR

Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Mantan Presiden RI ke 4 KH. Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil alias Gus Dur wafat pada tanggal 30 Desember pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit RSCM. Presiden ke 4 ini wafat akibat komplikasi jantung.  Penyakitnya diperberat dengan adanya gangguan ginjal dan kencing manis. Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme.

KH. Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau biasa kita panggil Gus Dur seorang tokoh besar bukan hanya milik Indonesia melainkan milik dunia yang telah wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas.
Semasa hidupnya, dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mereka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil-keberanian yang hampir tak terdapat pada orang lain.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.
Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin sejati ini (Gus Dur) membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.
Wafatnya Gus Dur, boleh jadi adalah kehilangan besar karena kita tidak akan lagi punya seseorang yang selalu berada di garis terdepan menjaga gerbong reformasi tetap berada pada relnya. Selain itu, cucu pendiri-pendiri NU ini menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti ada terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman yang tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal ini Gus Dur pun maklum belaka.

Fenomenal
Gusdur, sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4, boleh dikatakan sebagai presiden yang cukup fenomenal, antara lain: gusdur masuk kristen, gusdur murtad, gusdur selingkuh, gusdur dibabtis, gusdur yahudi, dan sebagainya, yang intinya selalu memojokkan langkah-langkah Gus Dur dalam membangun Demokrasi di Indonesia.
Pada saat menjabat sebagai Presiden, beliau banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan, diantaranya menutup Departemen Penerangan dan yang cukup membanggakan adalah berdirinya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (kini Departemen/Kementeriann Kelautan dan Perikanan/DKP). Berdirinya departemen kelautan dan perikanan ini, sangat tepat mengigat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas perairan lebih dari 2/3 wilayahnya. eksistensi DKP selama 9 tahun berdiri telah mengubah wajah kelautan dan perikanan di Indonesia. Bahkan departemen ini bertekad menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan.
Sebagai pegawai negeri sipil, juga cukup dihargai pada kepemimpinan Gusdur, mengingat kebijakan kenaikan gaji yang cukup signifikan, yang hal ini sepertinya belum pernah dilakukan oleh kepemimpinan presiden yang lainnya.
Jauh sebelum reformasi digaungkan, Gus Dur telah lebih dahulu memikirkan bagaimana mendorong demokratisasi di Indonesia. Cucu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama itu bahkan menjadi perekat hubungan antarumat beragama. Saat itu, Gus Dur telah memikirkan bagaimana cara merekonstruksi bangsa. Saat menjabat presiden, buah pikiran itu diterjemahkan Gus Dur dengan menyatukan perbedaan agama, suku, dan bangsa di bawah bingkai demokrasi. Ia berhasil meyakinkan bangsa bahwa demokrasi bisa dikembangkan bersama-sama dalam masyarakat yang majemuk.
Gus Dur sebagai pahlawan pluralisme dan demokrasi Indonesia. Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang bisa mengarahkan opini publik, bukan larut mengikuti opini publik, seperti dilakukan pemimpin bangsa saat ini. Gus Dur itu tidak tunduk kepada massa, tetapi selalu bisa mengarahkan massa. Orang seperti Gus Dur sangat dibutuhkan bangsa ini.
Terlahir sebagai cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, dididik secara kultural di dalam tradisi NU, memulai dan memantapkan karier politik di NU merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah elemen penting dan tak terpisahkan dari komunitas NU. Namun, pada saat yang sama, tidak jarang sikap Gus Dur berseberangan dengan tokoh-tokoh penting lainnya di NU dan secara terbuka kerap melancarkan kritik pedas terhadap beberapa kiai nahdliyin, seolah-olah ia tidak sedang menjadi bagian dari NU. Begitu pula relasi Gus Dur dengan kekuasaan. Pada era Orde Baru, Gus Dur kerap mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto, tetapi pada saat yang sama ”mengambil” dan menerima Pancasila, yang menjadi kebijakan politik resmi Orde Baru itu, sebagai asas NU.
Hal ini berlanjut saat Gus Dur sendiri berada dalam pusat kekuasaan, yaitu sebagai presiden ke-4 RI. Saat itu Gus Dur secara sinikal menyebut para anggota DPR ibarat murid taman kanak-kanak. Padahal, DPR saat itu diisi oleh banyak anggota yang berasal dari partai koalisi yang justru mendukung dan memilihnya sebagai presiden. Dengan sikapnya itu, Gus Dur dianggap tidak konsisten, mencla-mencle, dan berkhianat pada ikatan koalisi besar partai politik yang mendukungnya. Klimaksnya, Gus Dur pun dilengserkan dari kekuasaan oleh orang-orang yang dulu pernah mendukungnya.
Kendati begitu, dari situ kita bisa memetik pelajaran. Pertama, dengan relasi interseksi sejatinya Gus Dur berupaya untuk tetap (ber)independen terhadap segala bentuk ikatan, sekalipun itu ikatan dengan komunitas paling primordial baginya: NU, ataupun kekuasaan yang sesungguhnya bisa sangat menguntungkan dirinya. Kedua, Gus Dur berusaha menerapkan suatu perspektif sosial yang lebih obyektif dalam memandang individu, kelompok, atau institusi.
Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas, seperti umat Konghucu dan Ahmadiyah. Gebrakannya yang terkenal: menjadikan Konghucu agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional (fakultatif). Gus Dur membela keberadaan mereka atas dasar pandangan obyektif dengan meneropong keberadaan mereka tidak hanya dari kejauhan, tetapi juga dari dekat. Dengan cara ini, Gus Dur mampu memahami cara hidup dan berkeyakinan mereka secara adil dan apa adanya. Maka, dengan cara pandang ini, tidak heran jika kemudian Gus Dur bisa diterima dan dikagumi oleh banyak orang dari berbagai kelompok dan golongan.
Terhadap lawan-lawan politiknya sekalipun, termasuk di dalamnya “ditumbangkan dari kursi presiden” Gus Dur taat menerapkan pandangan obyektif semacam ini dan sangat piawai menjalin relasi interseksi dengan mereka. Dengan demikian, di mata Gus Dur, secara obyektif keberadaan lawan politik adalah sekaligus kawan politik. Sungguh ini sebuah estetika politik yang mungkin tidak mudah dilakukan tokoh politik lainnya.
Gus Dur tokoh bangsa yang terkenal dengan kejenakaannya dan salah satu tokoh negarawan terbaik yang dimiliki Indonesia. Tokoh yang menjujung tinggi pluralisme, maka sulit untuk mencari sosok sekaliber beliau di negeri ini. Bagi Indonesia, Gus Dur adalah GURU BANGSA. Ia bukan hanya tokoh multikulturalisme, tetapi juga pendorong demokrasi di Indonesia. Mengawinkan demokrasi dengan nilai-nilai Islam yang dipelajarinya sejak kecil.
Dalam pengembaraannya, Gus Dur mengamalkan nasihat Imam Syafi’i kepada para pencari untuk berani melakukan pengembaraan (intelektual). ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tidak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya.”
Gus Dur berani melakukan pengembaraan hingga ufuk terjauh filsafat, pengetahuan, dan peradaban Barat. Namun, Gus Dur berbeda dengan pengembara lain yang cenderung melupakan asalnya. Gus Dur ibarat kacang yang tak pernah melupakan kulitnya. Sejauh apa pun ia mengembara, ia selalu ingat jalan kembali ke rumah tradisi, dengan menjangkarkan kemodernan pada akar jati diri dan mensenyawakan universalitas keislaman dengan lokalitas keindonesiaan. Tempat perabadiannya di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng meneguhkan komitmen Gus Dur untuk senantiasa kembali ke rumah tradisi.
Jadilah ia bak pohon dengan akar yang menghunjam dalam, batangnya menjulang tinggi, dedaunannya rindang. Dengan akarnya yang kuat, ia tumbuh menjadi pemimpin yang percaya diri, tidak mudah goyah diterpa angin kritik, fitnah, tuduhan, dan ancaman. Dengan batangnya yang menjulang, ia menjadi pemimpin yang visioner yang melampaui zamannya. Dengan dedaunannya yang rindang, ia bisa menjadi pelindung siapa saja yang merasa kepanasan dan terpinggirkan.

NU dan Tantangannya
Pada era Gus Dur lah NU mengalami artikulasi intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi Islam modernis lainnya. Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi, HAM, kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan pro kemajuan.
KH Wahid Hasjim, tokoh NU yang juga ayah almarhum Gus Dur pada tahun 1950an, pernah mengatakan bahwa “mencari seorang akademisi di dalam NU ibarat mencari tukang es pada jam 1 malam.”
Pada Pemilu 1955, ketika Partai NU keluar sebagai pemenang ketiga, mereka kesulitan mencari orang yang bisa dikirim ke Parlemen. Sebetulnya bukan tidak ada “orang pandai” di dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama, dan ulama dalam bahasa Arab berarti “orang berilmu” atau “ilmuwan.” Tapi, NU terlanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama” atau orang yang ahli tentang agama saja.
Kondisi mulai berubah, generasi muda NU berbondong-bondong memasuki perguruan tinggi di kota-kota besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang dilancarkan Presiden Soeharto menciptakan peluang besar bagi penduduk desa untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih modern. Institusi-institusi profesional dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan tenaga kerja mendorong para pelajar untuk semakin berpikir ke arah pendidikan yang lebih vokasional.
Ledakan bayi-bayi NU mulai dapat dirasakan dan semakin keras gaungnya sampai sekarang. Orang-orang NU kini banyak mengisi jabatan-jabatan dan pos-pos penting, baik di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga profesional. Generasi muda NU juga menguasai gerakan masyarakat sipil, yang sebelumnya didominasi anak-anak muda kota dan kelompok sekuler.
Yang paling menggembirakan adalah bahwa NU juga leading dalam pengembangan pemikiran keagamaan, khususnya yang menyangkut wacana pembaruan Islam. Sebelum tahun 1980an, NU selalu dianggap sebagai organisasi Islam tradisional yang anti pembaruan, anti pemikiran, dan reaksioner terhadap dunia modern. NU juga sering mendapatkan streotip sebagai organisasi terbelakang, kolot, dan anti kemajuan.
Citra NU mengalami perubahan yang luar biasa pada tahun 1980an ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memimpin jam’iyah ini. Gus Dur melakukan suatu gebrakan yang tak pernah dilakukan para pendahulunya. Dia membawa NU dari organisasi yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis.
Pada era Gus Dur lah NU mengalami artikulasi intelektual yang sangat tinggi dan mampu melampaui pencapaian organisasi-organisasi Islam modernis lainnya. Gus Dur sendiri adalah ikon bagi banyak isu penting yang diusung gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi, HAM, kebebasan, dan pluralisme. Sosok Gus Dur telah mengubah citra NU menjadi sebuah gerakan modern yang pluralis, toleran, dan pro kemajuan.
Jasa terbesar Gus Dur adalah membuka ruang kebebasan berpikir di dalam NU dan mendorong anak-anak muda NU untuk berani berpikir dan berekspresi. Gus Dur rela menjadi pelindung mereka dari kritik dan serangan kiai-kiai yang tak sejalan dengan gagasan itu. Gus Dur tak hanya mendorong generasi muda NU untuk mengkaji “kitab kuning,” di mana khazanah Islam terpendam, tapi juga melecut mereka untuk menguasai “kitab putih,” di mana ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan umum lainnya tersimpan.
Setelah Gus Dur wafat, warga Nahdliyin rindu akan sosok Gus Dur yang telah begitu banyak memberikan jasa kepada jam’iyyah ini. Menjelang Muktamar NU ke-32 bulan Maret tahun 2010 di Makassar, wacana memunculkan sosok pemimpin seperti Gus Dur kembali menguat.
Sebagian orang percaya bahwa sosok Gus Dur akan sulit dicari gantinya. Setidaknya ada dua peninggalan yang sangat berharga dari Gus Dur, yakni generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader-kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis dan cerdas. Hal itu telah terbukti dengan lahirnya tunas-tunas bangsa yang akan menggantikan beliau seperti KH. Said Agil Sirodj, Zuhairi Misrawi, Ulil Absar Abdallah, Masdar Farid Mas'udi dan sebagainya.
Pertanyaannya sekarang, pertama mampukah sederetan nama yang telah mapan dan matang pengetahuannya dalam masalah demokrasi, pluralisme dan keadilan akan menggantikan “Gus Dur” pasca Gus Dur dalam membela kaum minoritas sampai harus mendapatkan kecaman dari lawan yang kontra demokrasi dan pluralisme, karena saat ini pluralisme selain punya harapan untuk terus di sosialisasikan sampai diterima semua elemen masyarakat, pluralisme mendapatkan tantangan. Diperkuat lagi pasca fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.
Pluralisme muda telah bermunculan yang searah dengan bapak pluralisme. Gus Dur telah berhasil berkiprah membuat masyarakat tentram dan damai dengan wadah Nahdlatul Ulama (NU).
Pertanyaannya kedua, mampukah NU menjadi wadah “Gus Dur” muda untuk terus mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Karena kalau kita lihat secara sepintas, NU tidak pro demokrasi lagi sebagaimana masa KH. Abdurrahman Wahid menjabat Ketua PBNU, terbukti dengan perda-perda yang terus bermunculan dari pemerintah karena desakan nahdiyin dan pengurus NU.
Saya kira Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar nanti warga NU harus berani memutuskan siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka ke depan. Jangan sampai mencari pengganti Gus Dur seperti mencari tukang es pada jam 1 malam, dan pemikiran Gus Dur perlu diwariskan secara turun temurun. Pengurus NU dari Pengurus Besar (PB) sampai Pengurus Ranting (PR) harus di tempati oleh “Gus Dur-Gus Dur” muda. Karena kepengurusan tanpa diisi oleh orang-orang yang seperti Gus Dur, NU tidak akan bisa mengembalikan kejayaannya sebagaimana pada masa KH. Hasyim Asyari (Pendiri) dan masa KH. Abdurrahman Wahid. Selain itu, perlu terus memberi support dan dukungan kepada bapak pluralisme muda untuk terus berorasi memperjuangkan demokrasi, pluralisme dan keadilan, sehingga terciptalah negeri baldatun toyyibatun warabbul ghofur.
Kepergian Gus Dur adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, khususnya warga Nahdliyin. Seperti kata Sayidina Ali, ”Jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya.” Tugas kita adalah membuat Indonesia negeri yang cocok bagi hidupnya para pahlawan alim yang baru. Kami generasi NU akan selalu setia menjaga gerbong reformasi tetap berada pada relnya Selamat jalan Gus, kami para generasi NU mendoakanmu agar semua amalan ibadah diterima disisiNya. Allahumma Amiiin.

Tidak ada komentar: